Kenapa Warga +62 Lebih Suka Diskon dan Subsidi
3 min read
Budaya antre panjang demi mendapatkan harga miring atau subsidi sudah menjadi pemandangan umum di Indonesia. Kita sering melihat masyarakat rela menunggu berjam-jam, bahkan dalam kondisi panas atau hujan, demi barang atau layanan dengan harga lebih murah. Salah satu contoh yang cukup mencolok adalah antrean untuk BBM bersubsidi seperti Pertalite, sementara BBM non-subsidi seperti Pertamax biasanya lebih lengang meskipun hanya sedikit lebih mahal.
Fenomena ini tidak hanya terbatas pada bahan bakar, tapi juga merambah ke barang-barang lainnya seperti sembako murah, diskon supermarket, hingga bantuan sosial. Mengapa masyarakat lebih rela mengorbankan waktu mereka untuk produk bersubsidi atau berharga diskon?
1. Harga yang Lebih Terjangkau Menjadi Daya Tarik Utama
Bagi sebagian besar masyarakat, harga yang terjangkau adalah faktor penentu. BBM bersubsidi seperti Pertalite memang lebih murah dibandingkan Pertamax, meskipun Pertamax bisa lebih irit dan lebih baik untuk mesin kendaraan. Banyak orang lebih memilih Pertalite karena harga yang lebih rendah, sesuai dengan kemampuan ekonomi rata-rata masyarakat.
2. Psikologis “Harga Murah” dan Sensasi Diskon
Ada kepuasan tersendiri saat mendapat barang dengan harga lebih murah atau diskon. Hal ini juga dipicu oleh iklan yang membuat barang diskon seolah menjadi “barang langka.” Fenomena ini sering memunculkan semacam “fear of missing out” (FOMO), di mana orang takut ketinggalan kesempatan.
3. Budaya Subsidi yang Sudah Mendarah Daging
Sejak lama, subsidi menjadi bagian dari kebijakan pemerintah, terutama untuk energi seperti BBM, listrik, hingga gas. Subsidi ini membentuk persepsi bahwa produk bersubsidi adalah “hak” masyarakat. Masyarakat cenderung memilih produk bersubsidi karena dianggap lebih “ekonomis” meskipun kualitasnya mungkin sedikit di bawah produk non-subsidi.
4. Keterbatasan Pendapatan dan Tingkat Kebutuhan
Pendapatan masyarakat Indonesia relatif rendah, sehingga produk bersubsidi sangat membantu mereka memenuhi kebutuhan sehari-hari. Walaupun BBM non-subsidi seperti Pertamax mungkin lebih irit dalam jangka panjang, produk bersubsidi seperti Pertalite masih menjadi pilihan utama demi menjaga pengeluaran yang terjangkau.
5. Antre sebagai Bukti Harga Murah dan Kebiasaan Membuang Waktu
Fenomena antre panjang juga mencerminkan bagaimana masyarakat terkadang “rela membuang waktu” untuk mendapatkan harga murah. Tidak sedikit yang harus meluangkan satu hingga tiga jam hanya demi membeli BBM bersubsidi, padahal waktu itu bisa digunakan untuk hal lain. Ini sering kali tidak dihitung sebagai “biaya” yang terbuang, karena masyarakat lebih melihat “uang yang bisa dihemat.”
Jika dihitung-hitung, waktu yang dihabiskan untuk antre sebenarnya menambah “biaya tersembunyi” dari barang murah tersebut. Namun, banyak yang belum menyadari hal ini dan tetap menganggap bahwa menunggu lama demi harga murah tetap menguntungkan. Di media sosial, momen antre panjang demi harga miring bahkan sering menjadi ajang kebanggaan.
Kesimpulan
Fenomena ini menunjukkan bahwa subsidi dan harga murah masih menjadi daya tarik utama bagi sebagian besar masyarakat kita, khususnya yang berpenghasilan menengah ke bawah. Kendati BBM non-subsidi seperti Pertamax bisa lebih hemat dalam jangka panjang, pilihan masyarakat tetap pada BBM bersubsidi seperti Pertalite karena harga yang sesuai daya beli.
Ke depan, mungkin perlu ada edukasi yang lebih baik tentang nilai ekonomis waktu dan pilihan produk berkualitas yang lebih hemat dalam jangka panjang. Perlahan-lahan, masyarakat diharapkan bisa lebih bijak dalam memilih, bukan hanya berdasarkan harga, tapi juga mempertimbangkan waktu yang berharga yang sering kali “terbuang” untuk barang-barang diskon atau bersubsidi ini.