WILIS NEWS

More than News

Jurnalis Istana: Ketika Media Lokal Kehilangan Independensi di Tengah Kekuasaan

2 min read

Fenomena “jurnalis istana” di dunia media lokal memang cukup menarik sekaligus mengkhawatirkan, terutama ketika di sebuah kota terdapat puluhan media, namun hanya segelintir yang dianggap “dekat” dengan kekuasaan.

Istilah “jurnalis istana” merujuk pada wartawan atau media yang memiliki hubungan erat dengan pemerintah daerah atau kelompok politik tertentu, seringkali karena keterlibatan mereka sebagai tim sukses dalam pemilu sebelumnya.

Kehadiran mereka di media bisa menjadi pedang bermata dua; di satu sisi, mereka punya akses khusus ke informasi dari “dalam,” tetapi di sisi lain, independensi dan obyektivitas jurnalistik mereka bisa diragukan.

Masalah utamanya adalah hilangnya kepercayaan publik terhadap media. Ketika wartawan dianggap terlalu dekat dengan kekuasaan, muncul anggapan bahwa berita yang mereka sajikan tidak lagi netral dan mungkin lebih condong pada kepentingan politik.

Hal ini bisa melemahkan peran media sebagai pengawas (watchdog) pemerintah dan mencederai fungsi pers sebagai pilar demokrasi.

Beberapa dampak negatif dari keberadaan “jurnalis istana” ini adalah:

1. Bias Pemberitaan

Media yang terlalu dekat dengan pemerintah atau penguasa setempat cenderung menyajikan berita yang tidak berimbang. Mereka lebih sering mengangkat keberhasilan atau citra positif pemerintah, sementara isu-isu kritis atau masalah yang menyudutkan bisa jadi diabaikan. Ini menimbulkan echo chamber di mana masyarakat hanya menerima informasi yang mendukung kepentingan pihak berkuasa.

2. Merusak Kompetisi di Media Lokal

Kehadiran jurnalis istana bisa menghambat jurnalis independen, terutama jika akses informasi dan liputan eksklusif hanya diberikan kepada media yang dianggap “bersahabat.” Ini menciptakan ketimpangan dalam akses berita, di mana media yang netral atau kritis mungkin tidak memiliki peluang yang sama untuk mendapatkan informasi.

3. Tantangan Etis bagi Wartawan

Jurnalis yang memilih berada di lingkaran penguasa sering kali menghadapi dilema etis. Ketika berita yang mereka sajikan terlalu memihak, mereka berisiko kehilangan integritas sebagai wartawan profesional. Dalam beberapa kasus, media yang memiliki hubungan erat dengan pemerintah bahkan mendapatkan keuntungan ekonomi, seperti iklan atau dukungan finansial, yang lebih besar dibandingkan media yang netral.

Solusi terhadap masalah “jurnalis istana” ini memerlukan penegakan kode etik yang ketat. Wartawan sebaiknya menjaga independensi mereka, tidak memihak, serta menghindari keterlibatan politik yang bisa mengancam obyektivitas berita. Dewan Pers dan lembaga seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) diharapkan turut aktif dalam memberikan edukasi, pelatihan, dan sanksi bila ada pelanggaran etika.

Penting bagi publik juga untuk lebih cermat dalam memilih media dan memverifikasi berita dari berbagai sumber. Masyarakat yang melek media akan memiliki ketajaman untuk mengenali mana media yang benar-benar menyampaikan berita secara objektif dan mana yang menjadi “corong” kekuasaan. Peran media yang bebas dan netral adalah fondasi bagi demokrasi yang sehat, dan ini hanya dapat terwujud jika media bisa menjaga jarak dari pengaruh politik, termasuk dari jabatan-jabatan politik setempat.