Meski Tergerus Zaman, Kerajinan Tungku Batu di Pacitan Tetap Bertahan
2 min read
PACITAN, JAWA TIMUR — Di tengah modernisasi yang kian pesat, kerajinan tradisional tetap memiliki tempatnya di hati masyarakat. Hal ini dibuktikan oleh Tumudi dan anaknya, Edi Sutikno, warga Desa Kalipelus, Kecamatan Kebonagung, Pacitan, Jawa Timur, yang masih setia mengolah batu alam menjadi tungku bakar atau kompor batu. Meski kompor gas dan listrik sudah umum digunakan, produk mereka justru masih banyak diminati dan bahkan kewalahan memenuhi pesanan.
Kerajinan ini telah ditekuni Tumudi bersama keluarganya secara turun-temurun hingga tiga generasi. Proses pembuatan tungku dari batu alam ini bukanlah hal mudah. Berbekal alat-alat tradisional seperti cangkul, linggis, dan ganco, batu kapur dipahat menjadi bentuk persegi panjang, lalu dipindahkan dan dilubangi sesuai pola. Dengan berat hampir mencapai 200 kilogram per batu, proses pemindahan dan pembentukan membutuhkan tenaga serta ketelitian ekstra agar batu tidak pecah.
> “Kami masih pakai alat manual, tidak pakai mesin. Sehari paling bisa bikin satu tungku, itupun kalau lancar. Kadang kalau ada kesalahan, batunya pecah dan tidak bisa dipakai lagi,” ujar Tumudi.
Harga tungku bervariasi, mulai dari 50 ribu rupiah untuk ukuran kecil dengan satu lubang hingga 120 ribu rupiah untuk ukuran besar. Meski terlihat sederhana, tungku batu alam tetap diminati oleh masyarakat, terutama bagi yang masih menggunakan kayu bakar atau membutuhkan tungku untuk kegiatan tertentu.
Kerajinan dengan Tantangan Tinggi
Pembuatan tungku dari batu ini bukan hanya soal keahlian, tetapi juga kesabaran. Meski sudah berpengalaman lebih dari dua dekade, Tumudi bersama keluarganya tetap harus berhati-hati saat mengolah batu. Salah sedikit saja, batu bisa pecah dan usaha seharian terbuang sia-sia. Tidak heran jika dalam sehari, mereka hanya mampu menyelesaikan satu tungku.
Dengan permintaan yang masih cukup tinggi, hingga 40 tungku yang belum terpenuhi, kerajinan ini menjadi bukti bahwa nilai budaya dan kearifan lokal masih bisa bertahan di tengah zaman yang terus berkembang.
—
Reporter: Patria Aji