Srimpi Lobong: Tarian Klasik Yogyakarta yang Mencerminkan Perang dan Kehormatan
2 min read
DIY- Srimpi Lobong adalah salah satu karya seni yang luar biasa dari masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (1921–1939). Tarian ini mengusung nilai-nilai estetika dan budaya Jawa yang tinggi, serta menyampaikan kisah heroik yang penuh simbolisme. Nama “Lobong” diambil dari judul gendhing pengiring utamanya, yaitu Gendhing Lobong. Dokumentasi mengenai tarian ini tercatat dalam Serat Pasindhen Bedhaya Utawi Srimpi bernomor B/S 16 (halaman 133-142) dan Serat Kandha B/S 8 (halaman 129-133), dua naskah penting yang memuat kekayaan budaya Jawa.
Latar Belakang Kisah Srimpi Lobong

Srimpi Lobong mengambil cerita dari Serat Kandha Ringgit Purwo, yang mengisahkan pertempuran antara Sang Dyah Dewi Srikandhi dan patih Simbarmanyura Dewi Suradewati. Sosok Dewi Srikandhi dalam kisah ini digambarkan sebagai wanita dengan perangai yang kuat dan suara yang lantang, mencerminkan karakter seorang ksatria. Sedangkan Dewi Suradewati adalah seorang wanita cantik yang sakti. Keduanya bertempur di medan perang dengan persenjataan khas ksatria Jawa, yaitu jemparing (panah) dan duwung (keris).
Pertempuran ini mencerminkan ketangkasan dan kekuatan para wanita Jawa dalam menghadapi tantangan. Kedua prajurit ini beradu kekuatan tanpa keraguan, menggambarkan semangat juang yang tinggi. Dalam alunan sindhenan, dikisahkan bahwa Arjuna, yang menyaksikan pertarungan itu, terpukau oleh kesaktian keduanya. Arjuna kemudian memberikan senjata pamungkas kepada istrinya, Dewi Srikandhi, untuk menyelesaikan pertarungan tersebut. Dengan senjata pamungkas, yaitu Ardadhedali dan Kiai Ardapusara, Dewi Srikandhi akhirnya memenangkan pertarungan, sementara Dewi Suradewati harus menyerah kalah.
Kesamaan dengan Bedhaya Lobong
Tarian Srimpi Lobong memiliki kesamaan dengan Bedhaya Lobong, sebuah tarian yang diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII (1877–1921). Keduanya berbagi tema cerita dan komposisi iringan musik yang mirip. Hal ini menunjukkan kesinambungan dalam karya-karya kerajaan Yogyakarta yang menonjolkan karakter, estetika, dan narasi heroik yang kuat. Selain sebagai hiburan, tarian-tarian ini juga mengandung nilai filosofi dan ajaran kehidupan yang mendalam bagi masyarakat Jawa.
Upacara Penghormatan dalam Sejarah
Pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, tercatat momen penting berupa upacara penghormatan yang digelar di Loji Karesidenan. Tercatat dalam sejarah bahwa pada hari Sabtu Wage, tanggal tiga Jumadilakir tahun Alip, Sultan menerima penghormatan dari Pemerintah Kolonial Belanda. Acara tersebut digambarkan sebagai pertemuan kehormatan, di mana sang Tuan Gubernur, pemimpin wilayah Yogyakarta kala itu, menjelaskan perihal bertakhtanya Sultan. Momen ini ditandai dengan simbolisasi bersulang dengan minuman sampanye sebagai bentuk penghormatan.
Kehadiran Srimpi Lobong dalam kesenian Jawa tak hanya menjadi sebuah warisan budaya, tetapi juga memperkaya khazanah seni klasik Yogyakarta yang sarat akan nilai-nilai filosofis dan estetika. Tarian ini menjadi cerminan perjalanan sejarah, pengabdian, serta perjuangan tokoh-tokoh dalam epik pewayangan yang abadi dalam ingatan masyarakat Jawa.